Oleh PRADIPTA PANDU | KOMPAS

Konflik antara manusia dan satwa liar bisa menyebabkan berbagai kerusakan dan kerugian. Manusia yang dibekali dengan akal dan pikiran harus memahami perilaku satwa liar untuk mengurangi potensi konflik.

Wisatawan Nusantara memandikan gajah di Conservation Response Unit (CRU) Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi Aceh, Selasa (24/7/2018). Selain sebagai pusat mitigasi konflik gajah, fasilitas ini juga menjadi obyek wisata satwa lindung gajah.

JAKARTA, KOMPAS — Konflik antara manusia dan satwa liar, seperti gajah, masih kerap terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia hingga menyebabkan berbagai kerugian. Untuk itu, manusia, khususnya masyarakat lokal, perlu memahami perilaku satwa liar guna mengurangi potensi konflik ini agar dapat hidup berdampingan dalam satu lanskap yang sama.

Species Survival Commission Badan Konservasi Dunia (IUCN) yang jugadosen Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University Mirza Dikari Kusrini mengemukakan, konflik antara manusia dan satwa liar dapat membahayakan keselamatan. Konflik ini juga bisa menyebabkan kerusakan sumber daya untuk makan dan papan serta gangguan lainnya.

”Kerugian pada manusia akibat konflik ini sangat jelas seperti kerusakan tanaman komoditas, tempat tinggal, hingga menyebabkan luka, bahkan atau kematian. Bagi gajah, konflik bisa merusak habitat dan juga dapat mengancam nyawa karena diracun, dijerat, atau diburu,” ujarnya dalam webinar tentang perlindungan terhadap gajah sumatera, di Jakarta, Kamis (25/5/2023).

Konflik antara manusia dan satwa liar ini dapat dijelaskan melalui berbagai jenis konsep. Salah satu konsep tersebut adalah manusia yang berhubungan dengan satwa liar bisa berubah positif bila terdapat perubahan interaksi. Sebagai contoh, gajah yang tadinya merusak bisa diubah interaksinya menjadi atraksi pariwisata sehingga memberikan pendapatan.

Mirza menekankan, terkadang konflik terjadi akibat manusia yang tidak memahami perilaku satwa. Manusia kerap mengabaikan fakta bahwa satwa liar pada dasarnya masih memiliki sifat liar. Bahkan, satwa liar yang terkesan lucu dan jinak pun dapat mengancam manusia.

Petugas dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Selatan sedang memasang GPS collar pada salah satu gajah sumatera liar di Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Jumat (13/5/2022). Teknologi ini digunakan sebagai upaya mitigasi konflik antara warga dan gajah.

Oleh karena itu, manusia yang dibekali dengan akal dan pikiran harus memahami perilaku satwa liar ini untuk mengurangi potensi konflik. Kebijaksanaan manusia juga sangat penting agar dapat hidup berdampingan dengan satwa liar dan menempati ruang hidup yang sama.

Meski demikian, lanjut Mirza, hidup berdampingan atau koeksistensi antara manusia dan satwa liar bukan berarti menghilangkan konflik sepenuhnya. Konflik tersebut dinilai masih bisa terjadi, tetapi tidak memprioritaskan interaksi negatif antara manusia dan satwa liar. Di sisi lain, koeksistensi menekankan interaksi manusia dan satwa liar di lanskap multifungsi.

Jadi, perlu semakin banyak orang yang bersuara sebelum konflik antara manusia dan satwa liar semakin besar. Bila kita mau hidup berdampingan, artinya kita juga masih ingin gajah tersebut tetap ada.

”Fragmentasi hutan di Sumatera semakin besar. Jadi, perlu semakin banyak orang yang bersuara sebelum konflik antara manusia dan satwa liar semakin besar. Bila kita mau hidup berdampingan, artinya kita juga masih ingin gajah tersebut tetap ada,” tuturnya.

Ketua Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI)Donny Gunaryadi Sumartono menyatakan, hidup berdampingan dengan gajah merupakan visi misi dalam strategi konservasi gajah sumatera. Visi misi ini dinilai cukup berat mengingat upaya hidup berdampingan dengan satwa liar memiliki berbagai pertimbangan, seperti kebutuhan dasar manusia dan kesehatan atau kondisi satwa yang secara bersamaan hidup dalam satu ruang atau lanskap.

Menurut Donny, upaya perlindungan habitat dan konservasi juga perlu dilakukan dalam koridor satwa. Kegiatan harus mengedepankan reforestasi atau renaturalisasi struktur habitat dan vegetasi, mengurangi aktivitas manusia, dan meminimalkan modifikasi lanskap.

Populasi gajah sumatera

Donny mengatakan, populasi gajah sumatera setiap tahun terus menurun. Konfigurasi habitat gajah sumatera ini sebagian masih termasuk kategori baik. Namun, ada juga habitat yang sudah memburuk, khususnya di wilayah Sumatera bagian selatan seperti Lampung.

”Dulu, Lampung memiliki 12 kantung populasi gajah, termasuk ada populasi gajah di Gunung Rajabasa. Kondisi ini harus menjadi perhatian serius karena bisa jadi populasi gajah akan terus menurun. Saat ini, populasi gajah sumatera berada di angka 1.000 ekor dari sekitar total 2.400-2.800 ekor pada tahun 2007,” ungkapnya.

Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Madya Balai Konservasi Sumber Daya Alam(BKSDA) BengkuluAri Rakatama menambahkan, sebanyak 65 persen populasi gajah sumatera lenyap akibat dibunuh manusia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 30 persen di antaranya kemungkinan dibunuh dengan cara diracun oleh manusia.

Selain itu, sekitar 83 persen habitat gajah sumatera telah menjadi wilayah perkebunan akibat perambahan yang agresif. Kondisi ini membuat gajah sumatera kerap dianggap sebagai hama yang merusak dan mengancam pekerja di wilayah perkebunan tersebut.

”Sinergi antara pemerintah pusat dan daerah sangat penting untuk tetap memberikan koridor sehingga habitat gajah tidak terfragmentasi. Pendirian koridor gajah di daerah Taman Nasional Kerinci Seblat menjadi kawasan ekosistem esensial. Koridor ini dibuat agar gajah tetap saling terkoneksi antara satu kelompok dengan kelompok lainnya,” ucapnya.