Konflik manusia dengan gajah sumatera (Elephas maximus sumatrensis) di lanskap Daerah Aliran Sungai Peusangan, meliputi Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh, semakin masif. Dampak konflik itu mengancam jiwa dan memukul ekonomi warga. Sejumlah gajah juga mati tersengat listrik.
Dilansir dari Kompas.id, Kepala Mukim Datu Derakal, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Bener Meriah, Syahrial, Senin (24/6/2024), mengatakan, konflik gajah dengan manusia semakin masif. Gajah liar kian sering masuk ke perkebunan, bahkan hingga ke pekarangan rumah.
”Kebun tebu dua hektar milik saya habis dirusak gajah. Kalau malam, kadang-kadang gajah lewat di samping rumah,” kata Syahrial. Rumah Syahrial berada di tepi Jalan Nasional Bireuen-Takengon.
Warga Kemukiman Datu Derakal mayoritas petani. Mereka menanam nanas, kopi, dan palawija. Namun, dalam 10 tahun terakhir, mereka tidak bisa mengelola kebun secara maksimal karena sering dirusak gajah.
”Banyak lahan warga yang tidak dikelola lagi, takut ke kebun. Sekarang mereka jadi buruh di PT (perusahaan sawit),” kata Syahrial.
Kanal Sawit Picu Eskalasi Konflik
Konflik gajah mulai terjadi sekitar tahun 2010, tetapi masih skala kecil. Tahun 2017 gajah liar mulai terlihat di perkebunan warga. Seiring waktu konflik semakin terbuka, gajah-gajah mulai masuk ke permukiman. ”Sekarang setiap hari, gajah tidak pindah-pindah ke perkebunan,” kata Syahrial.
Menurut dia, awalnya konflik dipicu aktivitas perkebunan kelapa sawit. Pihak perkebunan membuat parit pembatas agar gajah tidak masuk ke perkebunan. Padahal, kawasan itu adalah jalur jelajah gajah. Dampaknya, gajah bermigrasi ke wilayah budidaya warga.
”Perusahaan banyak uang, bisa dibuat parit keliling, kalau warga tidak sanggup sewa alat berat,” kata Syahrial. Meski pesimistis, dia masih berharap pemerintah serius menangani konflik gajah di DAS Peusangan. Tujuannya, agar warga dan satwa sama-sama bisa hidup tenang.
Kepala Desa Karang Ampar, Kecamatan Ketol, Aceh Tengah, Saleh Kadri juga menyampaikan kegelisahan atas konflik gajah yang tidak berujung itu. Saleh mengatakan, warga mengalami kerugian ekonomi berulang karena kebun dirusak gajah. Satu warganya bahkan meninggal saat hendak mengusir gajah dari perkebunan.
”Sampai kapan konflik ini terjadi? Kami sudah pasrah dengan keadaan,” kata Saleh.
Karang Ampar berbatasan dengan hutan. Sebagian besar warga Karang Ampar merupakan suku Gayo. Mereka menanam kopi dan palawija. Dari jalan nasional Bireuen-Takengon, jarak ke desa itu sekitar 30 kilometer dengan jalan sempit dan menanjak.
Saleh menuturkan, dalam keadaan putus asa, sebagian warga nekat memasang pagar listrik di kebun atau pekarangan rumah. Tujuannya bukan untuk membunuh satwa lindung itu, melainkan melindungi kebun dan rumah.
Namun, tetap saja ada gajah yang mati. Tahun ini, di Karang Ampar, dua gajah mati tersengat listrik di perkebunan. ”Kami sudah melarang, tetapi ada beberapa warga yang masih memasang,” kata Saleh.
Ia mengatakan, kini kerugian ekonomi sudah tidak terhitung, tetapi dia memperkirakan kerugian miliaran rupiah. Kebun pinang, kopi, durian, dan pisang milik warga berulang-ulang jadi sasaran amukan mamalia besar itu. Saleh mempertanyakan keseriusan pemerintah menangani konflik gajah di kampungnya. ”Kami mencintai gajah, tetapi tolong juga lindungi kehidupan warga,” kata Saleh.Selama ini penanganan konflik bersifat sementara, gajah liar dihalau menggunakan mercon, tetapi keesokan harinya gajah kembali masuk ke perkebunan. Saleh menginginkan ada solusi jangka panjang.
Bangun Koridor
Sebelumnya, untuk mengakhiri konflik gajah di DAS Peusangan, Pemprov Aceh telah menyusun rencana induk pengembangan kawasan perlindungan satwa liar di lanskap DAS Peusangan. Sedikitnya 45.968 hektar lahan dalam DAS Peusangan disiapkan sebagai koridor gajah sumatera.
Asisten II Pemkab Bireuen Dailami menuturkan, penataan koridor gajah sumatera di DAS Peusangan sangat mendesak untuk dilakukan. Pasalnya, intensitas konflik gajah sumatera di kawasan itu semakin masif. Aksi cepat dan konkret diperlukan agar satwa lindung yang terancam punah itu terselamatkan.
Menurut Dailami, salah satu strategi yang paling mendesak adalah menetapkan sebagian koridor satwa di DAS Peusangan sebagai taman hutan raya (tahura) yang sedang digagas Pemkab Aceh Tengah. ”Jika memungkinkan, tahura meliputi Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Bireuen, karena bicara koridor gajah di DAS Peusangan berada di tiga daerah ini,” kata Dailami.
Ketua Pusat Riset Konservasi gajah dan Biodiversity Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh,
Abdullah mengatakan, konflik gajah di DAS Peusangan semakin masif. Pemicunya beragam, mulai dari alih fungsi lahan di koridor satwa, pembalakan liar, hingga pengelolaan kawasan budidaya yang keliru. Dampak dari konflik ialah kerugian ekonomi karena perkebunan rusak hingga kematian gajah sumatera karena dibunuh.
Ia mengatakan, sebenarnya kondisi habitat di DAS Peusangan masih cukup bagus dan ketersediaan pakan alami masih melimpah. Namun, sebagian koridor terfragmentasi sehingga area jelajah terputus. Menurut Abdullah, pembentukan tahura merupakan salah satu solusi terbaik. Di sisi lain, dia juga mendorong agar pengelolaan perkebunan warga di penyangga koridor gajah menyesuaikan komoditasnya.