Siaran Pers FKGI, 13 Juli 2023

Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) meminta pemerintah untuk mengusut tuntas kasus kematian gajah sumatera yang marak terjadi akhir-akhir ini karena terkena racun. Kemampuan untuk mengungkap kasus kematian gajah secara non alami secara tuntas menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menjalankan amanat Undang-Undang dalam melindungi satwa terancam punah ini.

Pada Selasa (12/7/2023) lalu, ditemukan seekor gajah jantan muda mati di areal perkebunan sawit masyarakat yang berada di areal Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) PT Arara Abadi, di Distrik Nilo, Kabupaten Pelalawan, Riau. Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau Genman Suhefti Hasibuan dalam keterangan pers menyatakan bahwa penyebab kematian gajah tersebut akibat diracun. Dari penyisiran lokasi kejadian ditemukan satu kantung plastik yang berisi gula merah yang diduga dijadikan umpan yang biasanya dicampur dengan zat yang mengandung racun. Pihak BBKSDA Riau akan melakukan pengumpulan barang bukti dan berkoordinasi dengan penegak hukum untuk penanganan lebih lanjut.

Gajah jantan muda mati di PT Arara Abadi, Pelalawan, Riau, Selasa (12/7/2023) (Istimewa)

Di tahun sebelumnya, kematian gajah juga terjadi di PT Riau Andalan Lestari (RAL) tepatnya di KM 48 Koto Pait Beringin, Dusun Pematang Gonting, Kecamatan Talang Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau. Seekor gajah betina dewasa ditemukan membusuk di areal kebun akasia. Gajah tersebut ditemukan karyawan perusahaan pada Rabu (25/5/2022). Dari proses bedah bangkai diketahui bahwa gajah betina ini tengah mengandung bayi gajah jantan. Walaupun peristiwa terjadi setahun yang lalu, belum ada titik terang upaya penegakan hukum terhadap kasus tersebut.

Temuan gajah betina dewasa yang tengah mengandung mati di areal HTI akasia PT Arara Abadi, Bengkalis, Riau, (250422) (Istimewa)

Demikian pula dengan kematian gajah di Karang Ampar, Ketol, Aceh Tengah, Aceh pada Jumat (9/6/2023) lalu. Seekor gajah betina berusia sekitar 15 tahun tergeletak mati di lokasi yang hanya berjarak 300 meter dari pemukiman warga. BKSDA Aceh dan aparat keamanan setempat telah melakukan bedah bangkai, olah TKP, dan penyelidikan. BKSDA Aceh menyatakan kematian gajah ini diduga disebabkan oleh keracunan, namun demikin belum ada proses hukum lanjutan dan titik terang penyebab peristiwa tersebut

Bangkai gajah betina dewasa yang mati di Desa Karang Ampar, Ketol, Aceh Tengah, Aceh, pada Sabtu (10/6/2023) lalu. (Tribungayo.com)

Kasus kematian gajah berikutnya terjadi di perbatasan PT Bumi Andalas Permai, dan Desa Sungai Batang, Air Sugihan, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Informasi yang didapat, gajah berjenis kelamin jantan dewasa itu ditemukan berada di dalam parit tanpa gading pada 29 April 2023 lalu.

Gajah jantan mati ditemukan mengambang di parit PT Bumi Andalas Permai, Desa Sungai Batang, Air Sugihan, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, (290423). (Istimewa)

Informasi ini luput dari pemberitaan media massa dan sepengetahuan FKGI, tidak ada keterangan resmi dari BKSDA Sumatera Selatan terkait kejadian tersebut. Diketahui, upaya penyelidikan dilakukan dengan memanggil sekitar 90 orang saksi yang terutama adalah para penggarap lahan yang berada di sekitar TKP oleh aparat berwenang terkait.

Perusahaan konsesi di atas yakni PT Arara Abadi, PT Riau Andalan Lestari, PT Bumi Andalas Permai (BAP) merupakan perusahaan pemasok bahan baku kertas dan rekanan Asia Pulp & Paper (APP). Kematian gajah secara berulang di dan sekitar areal perusahaan mengindikasikan lemahnya upaya perlindungan gajah sumatera secara kolaboratif.

Dari analisis Sistem Informasi Geografis diketahui 85% populasi gajah sumatera hidup di luar kawasan konservasi yang rentan dialihfungsikan menjadi areal produksi seperti perkebunan, pertambangan, jalan, dan pemukiman. Perusahaan yang mendapat izin hak pengelolaan hutan produksi wajib untuk melindungi keberadaan satwa liar dilindungi termasuk gajah sumatera.

Ketua FKGI Donny Gunaryadi menyatakan Instruksi Menteri Lingkungan Hidup & Kehutanan No. INS.1/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2022 tentang Perlindungan Satwa Atas Ancaman Penjeratan dan Perburuan Liar di Dalam dan di Luar Kawasan Hutan merupakan isntruksi yang seharusnya berlaku bagi para pemegang konsesi. Terutama untuk memasukkan pertimbangan perlindungan satwa liar dari penjeratan dan perburuan liar sebagai kewajiban pemegang perizinan berusaha bidang kehutanan berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) Perlindungan Satwa Liar.

Selain itu juga menginstruksikan agar keberhasilan perlindungan satwa liar (zero accident) sebagai salah satu ukuran keberhasilan setiap perusahaan pemanfaat hutan; dan pastinya pelanggaran kewajiban perlindungan satwa liar akan dijatuhkan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.

Tumpang tindihnya areal jelajah gajah dan perkebunan manusia menimbulkan interaksi negatif karena gajah kerap memakan dan merusak tanaman yang diinvestasikan oleh masyarakat atau perusahaan. Eskalasi interaksi negatif ini semakin tinggi karena habitat alami gajah terus berubah secara besar-besaran.