Warga Bener Mariah Tewas Diamuk Gajah, Ini Kasus Kedua di Aceh Tengah

ACEH TENGAH, iNews.id – Supri (40), warga Kampung Lampahan, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah tewas akibat diserang gajah lia. Peristiwa ini kasus kedua dalam setahun terakhir di Aceh Tengah. Korban Supri meninggal dunia setelah diinjak-injak satwa dilindungi tersebut. Sebelum kejadian, korban bersama enam temannya sedang bekerja memperbaiki sebuah rumah di Dusun Simpang Tiga, Kampung Kekuyang, Kecamatan Ketol.

Tiba-tiba datang gajah liar dan mengamuk. Korban dan dua temannya yang tidak sempat menyelamatkan diri, menjadi sasaran amukan gajah. Nahas, Supri tewas. Sedangkan dua korban lainnya selamat walaupun mengalami luka-luka. Sampai saat ini, kedua korban masih dirawat intesif di RSUD Datu Beru Takengon akibat cedera diserang hewan bertubuh besar itu.

Korban meninggal dunia akibat diserang gajah liar bukan pertama kali terjadi di Aceh Tengah. Pada 4 Juli 2021 lalu, Abdurrahman (50) warga Kampung Karang Ampar, Kecamatan Ketol, Kabupaten Aceh Tengah, juga mengalami nasib yang sama. 

Dia meninggal dunia akibat luka parah yang dialami karena diinjak gajah liar. Korban diserang gajah liar ketika berupaya menggiring seekor gajah keluar dari permukiman warga saat itu. Konflik antara gajah dan manusia di kawasan tersebut sudah berlangsung lama. Warga merasa terancam dan trauma dengan kehadiran kawanan gajah liar masuk ke pemukiman mereka.


Baca selengkapnya dari sumber : https://aceh.inews.id/berita/warga-bener-mariah-tewas-diamuk-gajah-ini-kasus-kedua-di-aceh-tengah/all

21 Spesies Mamalia Indonesia di Tepi Jurang Kepunahan

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Khusus untuk kelas mamalia dari kerajaan animalia atau satwa yang ada di Indonesia, setidaknya ada 21 jenis yang masuk dalam kategori Critically Endangered.


BETAHITA.ID – Banyak spesies di Indonesia di tepi jurang kepunahan. Seperti yang tercatat di International Union for Conservation of Nature (IUCN) Redlist, ada puluhan spesies di Indonesia yang status konservasinya masuk dalam kategori Critically Endangered (CR) atau Sangat Terancam Punah, satu langkah lagi dari Extinct in The Wild (EW) atau Punah di Alam.

Khusus untuk kelas mamalia dari kerajaan animalia atau satwa yang ada di Indonesia, setidaknya ada 21 spesies atau jenis satwa yang masuk dalam kategori Critically Endangered di Daftar Merah IUCN. Nama-nama satwa mamalia yang tidak asing di telinga, seperti orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) dan badak jawa (Rhinoceros sondaicus), menjadi penghuni daftar Critically Endangered itu.

Selain jenis satwa mamalia, sejumlah spesies lainnya di Indonesia–termasuk jenis tumbuhan–juga tercatat ada dalam daftar spesies Critically Endangered IUCN Redlist. Spesies tersebut di antaranya, burung kedidi paruh sendok (Calidris pygmaea), hiu koboi (Carcharhinus longimanus), buaya siam (Crocodylus siamensis), penyu sisik (Eretmochelys imbricata) serta jenis tumbuhan berus mata buaya (Bruguiera hainesii) dan kantong semar daun kaku (Nepenthes rigidifolia).

“Untuk mamalia setidaknya ada 21 jenis satwa yang termasuk ke dalam status Critically Endangered, menurut IUCN,” kata Riszki Is Hardianto, Peneliti Spesies Yayasan Auriga Nusantara, Kamis (12/1/2023).

Jenis satwa mamalia Indonesia yang berstatus Sangat Terancam Punah ini, lanjut Riszki, tidak seluruhnya dilindungi. Dia menghitung, ada 7 jenis satwa yang tidak masuk dalam daftar jenis satwa yang dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor P.106 Tahun 2018.

Jenis satwa mamalia yang tidak dilindungi namun status konservasinya Sangat Terancam Punah itu yakni kanguru pohon wondiwoi (Dendrolagus mayri), kanguru pohon (Dendrolagus pulcherrimus), surili kalimantan (Presbytis chrysomelas), lutung belang sumatera timur (Presbytis percura), lutung simakobu (Simias concolor), kuskus mata biru biak (Spilocuscus wilsoni) dan tikus besar biak (Uromys boeadii).

Meski sebagian besar jenis satwa itu mendapat perlindungan hukum dari pemerintah, kondisinya tidak lantas menjadi lebih baik. Sebab hingga kini ancaman terhadap kelestarian beberapa spesies dilindungi masih terbilang tinggi.

“Sebagai contoh untuk harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang sudah masuk ke dalam status dilindungi di Indonesia saja kondisinya masih cukup memprihatinkan,” ujar Riszki.

Keprihatinan dalam upaya pelestarian satwa, terutama harimau sumatera, terlihat dari masih terjadinya kehilangan 4 bentang alam habitat harimau direntang waktu 2010-2015. Bahkan berdasarkan assessment terakhir, sebagaimana tertuang pada laporan Population Viability Analysis (PVA) Tahun 2016, terdapat 10 bentang alam yang termasuk ke dalam lansekap kecil, yang memiliki peluang kepunahan pada lokasi mencapai 100 persen di 100 tahun mendatang, baik dengan ada atau tanpa ancaman yang mengintainya.

Dengan kondisi seperti itu sehingga tindakan aksi konservasi yang nyata dan terukur harus segera dilakukan. Guna mengantisipasi terjadinya kepunahan lokal pada bentang alam yang menjadi habitat harimau sumatera yang tersisa.

“Dengan semua yang sudah terjadi dan dilakukan untuk harimau sumatera saja masih terjadi seperti ini. Lalu bagaimana dengan satwa lain yang belum banyak aksi konservasi yang dilakukan atau bahkan belum masuk ke dalam status dilindungi? Mungkin bisa jadi kondisinya jauh lebih memprihatinkan dari harimau sumatera,” urai Riszki.

Selain 21 jenis satwa mamalia berstatus Critically Endangered itu, ada pula sekitar 48 jenis satwa mamalia dari Indonesia lainnya yang status konservasinya juga memprihatinkan dan masuk dalam kategori Endangered atau Terancam Punah di IUCN. Satwa-satwa tersebut di antaranya, tapir (Tapirus indicus), bekantan (Nasalis larvatus), banteng jawa (Bos javanicus), kukang (Nycticebus coucang) dan paus biru (Balaenoptera musculus).

Menurut Riszki, banyak dari jenis satwa Indonesia dalam Daftar Merah IUCN, baik yang berstatus Critically Endangered maupun Endangered, yang terbilang kurang familiar bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Sehingga tak banyak yang memiliki pemahaman terhadap kondisi konservasi dan keterancamannya. Ia tidak berharap jenis-jenis satwa ini akan terlupakan nasibnya.

“Seperti monyet ekor panjang, surili, tapir, beberapa jenis kuskus, kanguru pohon, termasuk ikan napoleon, agak kurang mendapat perhatian di Indonesia.”

Populasi Menurun dan Ancaman yang Tinggi

Riszki bilang, tren populasi puluhan jenis satwa mamalia itu sebagian besar menurun. Menurut assessment yang dilakukan oleh IUCN, untuk jenis satwa yang masuk ke dalam status Critically Endangered, lebih dari 80 persen memiliki tren populasi yang terus menurun. Hal serupa terjadi juga pada satwa mamalia yang berstatus Endangered, hampir 90 persen tren populasinya juga menurun.

Kondisi tren populasi jenis-jenis satwa itu, menurut Riszki, masih bisa diperbaiki. Dia menyebut masih ada harapan untuk menjaga kelestarian jenis-jenis satwa itu, yakni dengan upaya konservasi yang jelas, terukur dan kerja sama multi-stakeholder yang baik.

“Upaya konservasi sangat perlu dilakukan karena ancaman kepunahan satwa liar di Indonesia secara umum ada 2 hal, yaitu berkurangnya atau rusaknya habitat, dan perburuan serta perdagangan satwa liar yang masih terus ada sampai hari ini,” lanjut Riszki.

Masih tentang penyusutan populasi. Riszki menjelaskan, konversi hutan menjadi perkebunan sawit, tanaman industri dan pertambangan menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar, termasuk satwa langka seperti orangutan, harimau sumatera, tapir, dan gajah sumatera.

Ia berpendapat, perburuan satwa liar itu juga akan berjalan seiring dengan pembukaan hutan alami yang dikarenakan akses yang menjadi mudah dalam upaya perburuan. Satwa liar dianggap sebagai hama oleh industri perkebunan, sehingga di banyak tempat jenis-jenis satwa ini dimusnahkan.

Setelah masalah habitat yang semakin menyusut secara kuantitas dan kualitas, perdagangan satwa liar menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar Indonesia. Lebih dari 95 persen satwa yang dijual di pasar adalah hasil tangkapan dari alam, bukan hasil penangkaran (profauna). 

“Berbagai jenis satwa dilindungi dan terancam punah masih diperdagangkan secara bebas di Indonesia. Semakin langka satwa tersebut maka akan semakin mahal pula harganya.”

Riszki menilai, semua satwa yang masuk kedalam daftar merah IUCN kondisinya tentu saja sangat memprihatinkan, dengan tren populasi yang terus menurun, habitat yang terus berkurang dan ancaman perdagangan satwa yang masih terus mengintai. Tapi dari sekian banyak satwa tersebut, badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) menjadi yang sangat memprihatinkan kini.

“Badak sumatera sangat memprihatinkan karena jumlah populasinya yang tersisa tinggal sedikit dan sudah mulai kesulitan mencari tanda-tanda keberadaannya di lapangan,” urai Riszki.

Sedangkan untuk monyet ekor panjang, imbuh Riszki, memprihatinkan karena walaupun status konservasinya menurut IUCN sudah masuk ke dalam Endangered atau Terancam Punah akan tetapi belum masuk ke dalam daftar satwa yang dilindungi di Indonesia. Keterancaman terhadap monyet ekor panjang ini tinggi lantaran masih banyak terjadi eksploitasi terhadap primata ini.

“Seperti untuk uji coba medis ataupun untuk entertainment serta masih terjadinya konflik dengan manusia yang menimbulkan kerugian untuk manusia dan kematian bagi si satwanya.”

Riszki mengakui, data populasi satwa di Indonesia terbilang masih sulit diperoleh. Hanya data populasi pada lanskap tertentu saja yang masih cukup banyak ditemukan. Sedangkan untuk ketersediaannya populasi secara menyeluruh se-Indonesia, masih cukup sulit didapatkan.

“Belum lagi angka populasi yang tersedia banyak yang sudah usang sehingga sulit untuk mendapatkan angka populasi terkini,” kata Riszki.


Sumber dan baca selengkapnya di : https://betahita.id/news/lipsus/8357/21-spesies-mamalia-indonesia-di-tepi-jurang-kepunahan.html?v=1675334807

Potret Penegakan Hukum Kejahatan Satwa Dilindungi di Indonesia

BETAHITA.ID – Penegakan hukum terhadap kejahatan satwa liar dilindungi di Indonesia belum terlalu menggembirakan. Padahal kejahatan satwa tidak bisa lagi dianggap sebagai kejahatan biasa. Sebab kejahatan ini merupakan kejahatan terorganisir dan bersifat lintas batas (transnasional), kerugian negara yang dihasilkan bahkan sangat besar.

Direktur Penegakan Hukum Yayasan Auriga Nusantara, Roni Saputra menyebut, berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh UNDP, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan IPB, estimasi kerugian keuangan negara dari peredaran satwa liar dilindungi sepanjang 2015-2021 mencapai angka kurang lebih Rp806.833.236.833.

“Saat ini penegak hukum masih berfokus pada penyitaan terhadap satwa liar dan produk ilegal dari satwa liar. Belum menyasar 2 isu terpenting dari kejahatan terhadap satwa liar, yaitu penelurusan aspek keuangan kejahatan dan melakukan pemulihan atas kejahatan,” kata Roni, Jumat (27/1/2023).

Roni menguraikan, kejahatan terhadap satwa liar dilindungi juga sering berkaitan dengan pencucian uang. Sehingga Sidang Umum PBB telah mengesahkan beberapa resolusi untuk melawan kejahatan terhadap satwa liar dan menyerukan anggota PBB mengubah legislasi nasional, sejauh perlu dan patut, agar tindak pidana terhadap satwa liar dapat diperlakukan sebagai kejahatan asal dalam tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Roni menyontohkan, pada 2017 lalu M. Ali Hanopiah, anggota Polres Indragiri Hilir divonis 2 tahun penjara dan denda Rp25 juta atas kejahatannya menjual sisik trenggiling kepada warga negara Malaysia bernama Lim. Selain itu M. Ali juga dipidana dalam kasus TPPU, dengan dijatuhi vonis penjara 3 tahun dan denda Rp800 juta, serta uang sekitar Rp320 juta miliknya dirampas.

“Untuk menyembunyikan transaksi, M. Ali Honopiah meminta kakak iparnya bernama Zabri untuk membuka rekening BCA. Selama kurun waktu Januari 2017 hingga Oktober 2017 ditemukan transaksi di rekening BCA atas nama Zabri sebesar Rp7 miliar,” terang Roni, Jumat (27/1/2023).

Selain kasus M. Ali Honopiah, Gakkum KLHK pernah melakukan penangkapan pada 28 Mei 2019 berhasil mengungkap pergadangan Trenggiling di Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Nilai tangkapan ini cukup fantastis, lebih kurang Rp1,5 miliar.

Nilai ini tentunya belum termasuk penghitungan nilai ekologis yang hilang atas penangkapan satwa liar yang memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga hutan yaitu sebagai pengendali hama ulat dan serangga di pohon. Namun pada kasus ini tidak ada kabar lebih lanjut apakah pelaku kemudian dijerat dengan Undang-Undang (UU) TPPU.

Penegakan hukum kejahatan terhadap satwa liar tidak dapat dilakukan hanya dengan mengandalkan hukum pidana di satu negara (tempat terjadinya tindak pidana semata). Sebagai contoh dalam kasus M. Ali Honofiah, hingga perkara M. Ali Honofiah divonis, Lim pelaku warga negara Malaysia tidak tersentuh hukum dan masih bebas berkeliaran.

“Untuk itu, perlu menggagas investigasi dan penegakan hukum paralel antarnegara.”

Penegakan Hukum Pidana Kejahatan terhadap Satwa Liar Tidak Menggembirakan

Setidaknya berdasarkan data penegakan hukum yang dirilis oleh Gakkum KLHK terdapat lebih kurang 372 kasus kejahatan terhadap satwa liar dilindungi. Data ini tentunya belum mewakili seluruh kasus yang terjadi di Indonesia, berhubung penyidik yang berperan dalam pemberantasan kejahatan terhadap satwa liar tidak saja Gakkum KLHK, melainkan ada juga penyidik kepolisian.

Namun dari data tersebut dapat dibaca, kejahatan terhadap satwa liar di Indonesia termasuk dalam kategori tinggi, berada pada tingkat kedua setelah kejahatan pembalakan liar.

“Tidak ada yang menggembirakan dalam penanganan kejahatan terhadap satwa liar ini. Besarnya penindakan ternyata tidak menurunkan angka kejahatan. Salah satu penyebabnya adalah tuntutan jaksa dan putusan hakim yang tidak mampu memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan,” kata Roni.

Berdasarkan penelurusan melalui website Mahkamah Agung dengan rentang waktu 2008 hingga 2018, setidaknya terdapat 83 putusan terkait kejahatan terhadap satwa liar dilindungi. Berdasarkan dokumen putusan yang ada, tuntutan jaksa terhadap pelaku berada di antara 2 bulan sampai dengan 36 bulan. Sedangkan tuntutan pidana denda rata-rata Rp10 juta.

Putusan hakim pun setali tiga uang dengan tuntutan kejaksaan, vonis pidana penjara berada di rentang 1 bulan sampai dengan 34 bulan dan putusan denda berada di antara Rp2 juta sampai dengan Rp5 juta. Baik tuntutan maupun putusan ternyata jauh dari apa yang diatur dalam undang-undang. Hampir tidak ada satupun kejahatan terhadap satwa yang dituntut dan diputus maksimal.

“Berdasarkan data tersebut dapat diambil kesimpulan sementara bahwa tuntutan dan putusan pengadilan tidak lebih dari setengah dari ancaman pidana. Dengan kata lain “mindset” penegak hukum masih menempatkan kejahatan terhadap satwa sebagai kejahatan biasa, padahal dari pola kasusnya, tidak jarang kejahatan terhadap satwa melibatkan jaringan atau sindikat internasional.”

Roni berpendapat, dengan pidana yang tidak maksimal, semakin memperkuat keyakinan bahwa efek jera yang diharapkan oleh hukum pidana tidak akan dapat dicapai oleh Negara, dan perlindungan terhadap satwa hanya menjadi ‘perlindungan di atas kertas semata’.

Pendapat yang disampaikan Roni di atas setidaknya dapat juga didukung dengan apa yang terjadi pada kasus terbaru, yang terjadi di Sumatera Utara. Yang mana Thomas Rider, berusia 18 tahun, pelaku penjual orangutan sumatera dituntut 18 bulan oleh jaksa penuntut umum, dan kemudian divonis 1 tahun dan denda hanya Rp10 juta saja.

Padahal menurut Roni, Thomas ini bukanlah pemain baru. Bahkan dalam kasus Eddy (pelaku perdagangan satwa liar), nama Thomas juga disebut-sebut, bahkan Thomas berperan pentin dalam jaringan perdagangan satwa internasional.

Mengembangkan Alternatif Perlindungan terhadap Satwa Liar

Menurut Roni, harapan hukum pidana dapat memberi efek jera, sepertinya sudah mulai menjadi jalan buntu. Apalagi UU Konservasi sudah sangat tua, sejak 1990 hingga saat ini belum ada revisi. UU yang dibuat zaman orde baru tersebut masih menempatkan satwa liar maupun tumbuhan dilindungi sebagai objek semata, yang bisa diambil sepanjang ada perizinan.

“Auriga bersama-sama dengan Lancester University, Peneliti LIPI (sekarang BRIN), melalui pendanaan dari DEFRA mengembangkan alternatif baru, yaitu pendekatan perdata. Pendekatan ini dipilih karena kejahatan terhadap satwa liar merupakan kejahatan yang bermotif ekonomi dan menimbulkan dampak berupa kerusakan yang luas terhadap lingkungan hidup–termasuk spesies yang terancam punah,” terang Roni.

Roni menerangkan, tujuan penggunaan pendekatan perdata ini adalah agar memungkinkan pelaku untuk dimintakan ganti kerugian dan pemulihan terhadap kerusakan yang telah ditimbulkan. Dengan demikian, selain akan menjerat pelaku, upaya pencegahan tindakan yang merusak lingkungan di masa depan dapat dilakukan secara maksimal.

Pendekatan ini didasarkan pada beberapa kasus yang terjadi di banyak negara, terutama perusakan lingkungan yang berakibat terganggu atau punahnya keanekaragaman hayati. Kasus-kasus itu di antaranya:

  1. Kasus Penangkapan Ikan di Taman Nasional Calanque di Prancis
    Pada 2019, pengadilan di Perancis memutuskan beberapa tergugat bertanggung jawab atas kerusakan yang diakibatkan oleh penangkapan, penjualan dan pembelian ikan secara ilegal–termasuk di dalamnya ikan yang dilindungi dan sebagiannya diambil dalam Taman Nasional Calanque. Kasus ini merupakan kasus pertama di Perancis yang berkaitan dengan gugatan kerusakan lingkungan akibat pengambilan ilegal satwa liar dari alam. Putusan pengadilan memutuskan kompensasi terhadap kerusakan ekologis senilai 450 ribu Euro.
  2. Kasus Kebakaran Lahan oleh PT Kalista Alam
    Pada 2012 silam, Menteri LHK mengajukan gugatan terhadap PT Kalista Alam, perusahaan sawit di Aceh, untuk mendapatkan kompensasi akibat kerugian yang disebabkan kebakaran dalam lahan perkebunan perusahaan. Pengadilan memutuskan bahwa PT Kalista Alam bertanggung jawab secara hukum dan memerintahkannya membayar kompensasi senilai Rp114,303,419,000 atai USD12,202,300 untuk kerugian ekologis dan melakukan tindakan pemulihan lingkungan dengan nilai Rp. 251,765,250,000 (US$26,876,845). Salah satu komponen dalam gugatan ganti rugi tersebut termasuk kerugian akibat hilangnya atau berkurangnya keanekaragaman hayati dan sumber daya genetik
  3. Kasus Pertambangan Blackbird di USA
    Pada 1983, Negara Bagian Idaho mengajukan gugatan terhadap beberapa perusahaan tambang atas kerugian lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan Blackbird Mine di Lemhi, Idaho. Blackbird Mine menyebabkan kontaminasi terhadap air tanah dan air permukaan serta merusak hidupan liar keanekaragaman hayati di sepanjang areal Panther Creek. Pengadilan memerintahkan ganti rugi senilai USD4,700,000, termasuk untuk memulihkan kualitas air hingga dapat mendukung populasi ikan, dan melaksanakan rencana restorasi yang secara aktif memulihkan populasi ikan.

Kasus kejahatan terhadap satwa pertama yang digugat secara perdata di Indonesia adalah gugatan orangutan sumatera (Pongo Abeli) Vs PT NAN. PT NAN adalah kebun binatang mini yang terletak di Padang Sidempuan, Sumatera Utara. Sebagai kebun binatang, mereka belum memenuhi persyaratan, namun telah menempatkan beberapa satwa yang dilindungi, salah satunya adalah Pongo Abeli. Walhi Medan sebagai lembaga yang mewakili kepentingan Pongo Abeli kemudian mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Padang Sidempuan dan menuntut PT NAN untuk melakukan pemulihan sebesar Rp712.296.845. saat ini perkara masih dalam proses kasasi di Mahkamah Agung.


Sumber : https://betahita.id/news/detail/8399/potret-penegakan-hukum-kejahatan-satwa-dilindungi-di-indonesia.html?v=1675334649

Can Elephants Save the Planet?

Researchers Discover Elephant Extinction Could Have Major Impact on Atmospheric Carbon Levels

In findings published in Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS), Saint Louis University researchers and colleagues report that elephants play a key role in creating forests which store more atmospheric carbon and maintaining the biodiversity of forests in Africa. If the already critically endangered elephants become extinct, rainforest of central and west Africa, the second largest rainforest on earth, would gradually lose between six and nine percent of their ability to capture atmospheric carbon, amplifying planetary warming.

Assistant professor of biology at Saint Louis University and senior author on the paper Stephen Blake, Ph.D., has spent much of his career dedicated to studying elephants. In the current paper, Blake, lead author Fabio Berzaghi at the Laboratory of Climate and Environmental Sciences (France) at the time of the study and colleagues document exactly how the ecology of megaherbivores has such a strong influence on carbon retention in African rainforests. 

“Elephants have been hunted by humans for millennia,” Blake said. “As a result, African forest elephants are critically endangered. The argument that everybody loves elephants hasn’t raised sufficient support to stop the killing. Shifting the argument for elephant conservation toward the role forest elephants play in maintaining the biodiversity of the forest, that losing elephants would mean losing forest biodiversity, hasn’t worked either, as numbers continue to fall. We can now add the robust conclusion that if we lose forest elephants, we will be doing a global disservice to climate change mitigation. The importance of forest elephants for climate mitigation must be taken seriously by policy makers to generate the support needed for elephant conservation. The role of forest elephants in our global environment is too important to ignore.”

Elephants play multiple roles in protecting the global environment. Within the forest, some trees have light wood (low carbon density trees) while others make heavy wood (high carbon density trees). Low carbon density trees grow quickly, rising above other plants and trees to get to the sunlight. Meanwhile, high carbon density trees grow slowly, needing less sunlight and able to grow in shade. Elephants and other megaherbivores affect the abundance of these trees by feeding more heavily on the low carbon density trees, which are more palatable and nutritious than the high carbon density species. This “thins” the forest, much like a forester would do to promote growth of their preferred species. This thinning reduces competition among trees and provides more light, space and soil nutrients to help the high carbon trees to flourish. 

“Elephants eat lots of leaves from lots of trees, and they do a lot of damage when they eat,” Blake said. “They’ll strip leaves from trees, rip off a whole branch or uproot a sapling when eating, and our data shows most of this damage occurs to low carbon density trees. If there are a lot of high carbon density trees around, that’s one less competitor, eliminated by the elephants.”

Elephants are also excellent dispersers of the seeds of high carbon density trees. These trees often produce large nutritious fruits which elephants eat. Those seeds pass through the elephants’ gut undamaged and when released through dung, they are primed to germinate and grow into some of the largest trees in the forest.

“Elephants are the gardeners of the forest,” Blake said. “They plant the forest with high carbon density trees and they get rid of the ‘weeds,’ which are the low carbon density trees. They do a tremendous amount of work maintaining the diversity of the forest.” 

“Elephants have multiple societal benefits,” Blake said. “Kids all over the world play with stuffed elephants in bedrooms. African forest elephants also promote rainforest diversity in a multitude of ways.”

With this knowledge, Berzaghi is now looking ahead to the future to determine how other animals in the rainforests affect its biodiversity and if they have the same impact as elephants. 

“The implications of our study extend beyond just forest elephants in Africa,” Berzaghi said. “As we show that leaves from low carbon density trees are less palatable to herbivores, those findings imply that other large herbivores, such as primates or the Asian elephant, could also contribute to the growth of high carbon density trees in other tropical forests. Our aim is to expand on this by investigating those other species and regions.”

Armed with this vital information, the arguments to conserve the forest elephants of the Congo Basin and West Africa have never been greater. Populations of elephants have been eliminated from many areas of the forest, and in many areas, they are functionally extinct, meaning that their populations are so low that they have no significant impact on the ecology of the forest. Blake calls for more protection for forest elephants. 

“The illegal killing of elephants and the illegal trade remains active,” Blake said. “Ten million elephants once roamed across Africa, and now there are less than 500,000, with most populations living in isolated pockets. These elephants range from endangered to critically endangered, with their numbers plummeting by more than 80 percent in the last 30-plus years. Elephants are protected under national and international law, and yet poaching continues. These illegal killings must stop to prevent forest elephant extinction. Now we have a choice. As a global society, we can continue to hunt these highly social and intelligent animals and watch them become extinct, or we can find ways to stop this illegal activity. Save the elephants and help save the planet, it really is that simple.”

Other researchers on this study include Francois Bretagnolle and Clementine Durand-Bessart from the Universite de Bourgogne, France. 

About Saint Louis University

Founded in 1818, Saint Louis University is one of the nation’s oldest and most prestigious Catholic institutions. Rooted in Jesuit values and its pioneering history as the first university west of the Mississippi River, SLU offers more than 13,500 students a rigorous, transformative education of the whole person. At the core of the University’s diverse community of scholars is SLU’s service-focused mission, which challenges and prepares students to make the world a better, more just place.
 

Sources : https://www.slu.edu/news/2023/january/elephants-atmospheric-carbon-research.php
by Jacob Born

Damar Mati, Gajah 2 Tahun 4 Bulan Itu Tak Ada Lagi di TWA Buluh Cina

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Seekor gajah sumatera (elephas maximus sumatranus) berjenis kelamin jantan di Unit Konservasi Gajah Taman Wisata Alam (TWA) Buluh Cina, Siak Hulu, Kampar, ditemukan mati pada Rabu (11/1/2023).

Gajah bernama Damar ini masih tergolong anak, yang lahir pada tanggal 3 Juli 2020 dari pasangan gajah latih bernama Robin dan Ngatini.

Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau Genman S Hasibuan menjelaskan, bangkai gajah itu pertama kali ditemukan pada Senin (11/1/2023) pukul 7.45 WIB pagi lalu oleh pelatih gajah (mahout) Alex Gunawan. Saat itu Alex yang sedang melakukan pengecekan dan hendak memindahkan gajah ke hutan, melihat Damar sedang rebahan.

Damar sempat disangka masih tidur, namun setelah dicek lagi ternyata gajah itu telah mati. Padahal sebelumnya, pada Selasa (10/1/2023), petugas piket malam bernama Ludinsion Nainggolan masih melihat Damar masih dalam kondisi baik. Tidak terlihat ada gejala yang mencurigakan terkena sakit pada gajah itu hingga pukul 18:00 WIB petang itu.

Usai mendapat kabar Gajah Damar mati, Genman langsung menurunkan Tim Medis BBKSDA Riau. drh Rini Deswita, dokter hewan yang memimpin tim ini, melakukan nekropsi untuk mendiagnosa penyebab kematian hewan dilindungi tersebut.

Tim medis mengambil sampel berupa lidah, hati, limpa, lambung, ginjal, jantung, paru paru, dan cairan perikardium dari gajah itu. Hasil nekropsi dikirim ke laboratorium di Kota Bogor untuk mengetahui secara pasti penyebab kematian gajah Damar.

”Pada Selasa (17/1/2023) hasil uji laboratorium keluar, gajah Damar, jenis kelamin jantan berumur 2 tahun 4 bulan, mati disebabkan terkena Elephant

Endotheliotropic Herpes Virus,” sebut Genman pada Rabu (18/1/2023).

Jenis virus tersebut, kata Geman, memang sulit diprediksi. Karena gejalanya tidak terlihat jelas bila hanya melihat dari fisik gajah. Namun virus ini dapat menyerang dengan cepat pada anakan gajah.

Genman menyebutkan, selama ini BBKSDA Riau bekerjasama dengan lembaga pemerhati gajah, telah berupaya keras melakukan pencegahan dan antisipasi kematian gajah. Mulai dari pengecekan medis secara rutin, pemberian obat, vitamin dan suplai makanan yang bernutrisi.

”Ini merupakan berita duka bagi dunia konservasi. Ini merupakan sebuah kehilangan besar bagi kami,” tutup Genman.


Laporan: Hendrawan Kariman (Pekanbaru)
Editor: Eka G Putra

Sumber : https://riaupos.jawapos.com/sumatera/18/01/2023/292592/damar-mati-gajah-2-tahun-4-bulan-itu-tak-ada-lagi-di-twa-buluh-cina.html

Presiden Tekankan Pembangunan Infrastruktur harus Ramah Lingkungan

Pembangunan infrastruktur di Tanah Air harus tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan menjamin keberlangsungan hidup satwa liar. Demikian disampaikan Presiden Joko Widodo setelah melihat perlintasan gajah di KM 12 ruas tol Pekanbaru-Dumai, pada Kamis, 5 Januari 2023.

“Saya terus mengingatkan mengenai pentingnya juga memperhatikan lingkungan, seperti yang kita bangun Jalan Tol Pekanbaru-Dumai misalnya, ada terowongan untuk lintasan gajah sebanyak enam tempat,” ucap Presiden dalam keterangannya.

Sehingga, lanjut Presiden, pembangunan jalan tol ini tidak mengganggu perlintasan salah satu satwa yang dilindungi yaitu gajah Sumatra. Tidak hanya di Riau, Presiden menuturkan bahwa upaya pelestarian tersebut juga akan dilakukan di tempat lain agar pembangunan infrastruktur tidak mengganggu kelestarian satwa liar.

“Saya kira beberapa tempat memang kita membangun terowongan-terowongan, lintasan untuk hewan-hewan yang dilindungi tersebut,” tutur Presiden.

Dalam kesempatan terpisah, Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Riau Genman S. Hasibuan juga menambahkan bahwa terowongan gajah ini merupakan langkah adaptasi atas pembangunan ruas jalan tol Pekanbaru-Dumai yang telah membelah habitat gajah di dua kota dan dua kabupaten dengan total populasi gajah sebanyak 76 ekor.

“Sebagai adaptasi dari pembangunan jalan tol ini terhadap keberadaan gajah di lokasi ini, maka kami dari Balai Besar KSDA Riau bekerja sama bersama Hutama Karya untuk membuat terowongan gajah sehingga gajah itu pergerakannya tidak terganggu,” ungkapnya.

Setelah melihat langsung perlintasan gajah tersebut, Presiden dan rombongan kemudian melanjutkan perjalanan menuju Kabupaten Rokan Hilir.

Turut mendampingi Presiden dalam peninjauan ini, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, Menteri BUMN Erick Thohir, Gubernur Riau Syamsuar, dan Ketua DPRD Riau Yulisman.

Siak, 5 Januari 2023,
Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden

Website: https://www.presidenri.go.id
YouTube: Sekretariat Presiden

Gajah CRU Serbajadi Diserang Gajah Liar

RAKYATACEH | IDI – Satu individu gajah sumatra (elephas maximus sumatranus) jinak mati akibat diserang kawanan gajah liar di Conservation Response Unit (CRU) Serbajadi, Kabupaten Aceh Timur.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Agus Arianto di Aceh Timur, Senin, mengatakan gajah mati tersebut merupakan gajah jantan bernama Lilik, berusia kurang lebih 35 tahun.

“Gajah Lilik mati, Minggu (25/12) sekira pukul 03.00 WIB setelah diserang
gajah liar. Selain menyebabkan kematian Lilik, kawanan gajah liar tersebut juga menyerang dan menyebabkan gajah jinak lainnya terluka,” kata Agus Arianto.
Saat penyerangan berlangsung, kata Agus Arianto, para mahout atau pawang gajah, berupaya menghalau kawasan gajah liar tersebut. Namun, para mahout pun dikejar kawanan gajah liar.

“Penyerangan kawanan gajah liar tersebut berlangsung di sekitar CRU Serbajadi. Saat kejadian, listrik mati, sehingga lokasi CRU gelap dan menyulitkan mahout menolong gajah jinak yang diserang kawanan gajah liar tersebut,” kata Agus Arianto

Berdasarkan penanganan yang telah dilakukan, kata Agus Arianto, kawanan gajah liar tersebut sudah beberapa minggu berada di seputaran CRU Serbajadi. Tim CRU juga sudah berupaya menggiring kawanan gajah liar tersebut kembali ke kawasan hutan.

Namun, kawanan gajah liar tetap kembali dan mendekati CRU hingga terjadi penyerangan terhadap gajah jinak Lilik dan lainnya. Lokasi penyerangan gajah jinak Lilik berada sekitar 100 meter di seberang sungai tidak jauh dari CRU Serbajadi, kata Agus Arianto.

“Tim medis BKSDA Aceh sudah berada di lokasi guna nekropsi atau bedah bangkai gajah jinak Lilik serta merawat gajah jinak lainnya yang luka-luka akibat penyerangan kawanan gajah liar tersebut,” kata Agus Arianto.

Sementara Kapolres Aceh Timur AKBP Andy Rahmansyah, membenarkan mendapar laporan penyerangan oleh gajah liar kepada gajah di CR Serbajadi Sabtu (24/12) sekira pukul 19.30 WIB

Penjaga gajah (mahout) mendengar jeritan suara gajah jinak bernama Lilik yang posisinya diikat pada pohon kayu menggunakan rantai sepanjang lebih kurang 50 meter.
“Mendengar suara jeritan mahout yang berjumlah tiga orang itu menuju ke lokasi.

Sesampainya di lokasi, mereka melihat kawanan gajah liar yang tubuhnya lebih besar dari Gajah Jinak,” ujar Kapolres, Senin (26/12).

Mengetahui kedatangan petugas, lanjut Kapolres, gajah liar yang berjumlah tidak kurang dari 30 ekor mengejar ketiga mahout dan ketiganya lari menyelamatkan diri.

“Pada pagi harinya dilakukan pengecekan, terlihat Lilik (Gajah Jinak) sudah ditemukan dalam keadaan mati dengan luka di bagian telinga sebelah kiri dan luka di bagian kepala yang diduga dilakukan oleh kawanan gajah liar.” Sebut Kapolres.

“Untuk penanganan lebih lanjut, kami sudah berkoordinasi dengan pihak BKSDA Aceh dan saat ini tim sedang menuju ke lokasi,” kata AKBP Andy Rahmansyah. (mol/min)


Sumber : https://harianrakyataceh.com/2022/12/27/gajah-cru-serbajadi-diserang-gajah-liar/

Anak Gajah Umur 4 Tahun Mati di Pusat Pelatihan, Diduga Terserang Virus Herves

LAMPUNG TIMUR, iNews.id – Anak gajah sumatera jinak berusia 4 tahun yang ditemukan mati. Gajah itu ditemukan mati di dalam area Pusat Latihan Gajah Taman Nasional Way Kambas (TNWK), Kabupaten Lampung Timur.

Gajah bernama Topan itu mati pada Minggu (30/10/2022). Topan merupakan anak dari induk gajah bernama Bunga.

Sesaat usai ditemukan mati, petugas melakukan evakuasi terhadap jasadnya. Kemudian, dokter rumah sakit gajah melakukan autopsi terhadap Topan.

“Autopsi dilakukan oleh dokter hewan Rumah Sakit Gajah Way Kambas, untuk mengetahui penyebab kematian Topan,” kata dokter hewan Rumah Sakit Gajah Prof. Dr. Ir. Rubini Atmawidjaja, Rabu (2/11/2022).

Autopsi dilakukan dengan mengambil beberapa organ tubuhnya guna mengetahui penyebab kematiannya.

“Kami sudah melakukan pemeriksaan,” katanya.

Sementara itu, drh. Hesti menjelaskan, pada pemeriksaan dan pembedahan, beberapa organ dalam gajah sudah diambil untuk dikirim ke laboratorium.

“Kami akan kirim sampel organnya ke laboratorium untuk mengetahui hasilnya,” kata dia.

Kesimpulan dari diagnosa sementara, kata Hesty, penyebab kematian anak gajah bernama Taufan ini akibat penyakit herves virus (EEHV).

“Penyebab kematian anak gajah ini bukan karena kekerasan, karena tidak ada bekas luka, tidak ada lubang yang tidak umum ditemukan, tidak ada tindak kekerasan fisik,” katanya.


Sumber : https://lampung.inews.id/berita/anak-gajah-umur-4-tahun-mati-di-pusat-pelatihan-diduga-terserang-virus-herves/2.

Konflik Gajah di Way Kambas, Petani Tewas Diinjak Gajah Liar Saat Tidur di Gubuk

LAMPUNG, KOMPAS.com – Seorang petani di Lampung Timur, tewas diinjak gajah liar saat tidur di gubuk ladangnya.

Korban sempat dirawat di rumah sakit, tetapi nyawanya tidak tertolong akibat luka berat.

Wakapolres Lampung Timur Komisaris Polisi (Kompol) Sugandhi Satria Nugraha mengatakan, korban tewas adalah seorang petani bernama Zarkoni (44) warga Desa Tambahdadi, Kecamatan Purbolinggo.

Menurut Gandhi, sapaan akrabnya, dari keterangan yang dihimpun kepolisian peristiwa itu terjadi pada Kamis (10/11/2022) sekitar pukul 2.30 WIB.

“Lokasi konflik ini di ladang korban di Dusun IV, Desa Tambahdadi,” kata Gandhi saat dihubungi, Jumat (11/11/2022).

Korban sempat dirawat dengan luka parah. Namun, korban meninggal dunia di rumah sakit akibat luka injakan gajah itu.

“Korban meninggal dunia tadi (Jumat) siang di rumah sakit,” kata Gandhi.

Adapun kronologi peristiwa ini berawal saat korban dan dua rekannya yakni Sugiyanto dan Saidi pergi ke ladang pada Rabu (9/11/2022) sekitar pukul 19.30 WIB.

Ketiganya pergi ke ladang untuk berjaga dari gangguan hama dan satwa liar seperti gajah yang datang dari dalam kawasan hutan Way Kambas.

Ketiganya bergiliran berjaga, dengan posisi korban dan Saidi tiduran di atas gubuk. Sedangkan Sugiyanto berjaga di luar gubuk.

Pada waktu kejadian, tiba-tiba muncul satu ekor gajah di dekat Sugiyanto.

Lantaran kaget, Sugiyanto langsung lari menjauhi gajah itu.

Tak dinyana, gajah liar yang diperkirakan berumur dewasa itu juga berlari mendekati gubuk dan merubuhkannya.

Korban tidak bisa melarikan diri karena gajah itu langsung menyerangnya.

Akibat serangan gajah, korban mengalami luka patah di kaki dan rusuknya.


Sumber : https://regional.kompas.com/read/2022/11/11/155750578/konflik-gajah-di-way-kambas-petani-tewas-diinjak-gajah-liar-saat-tidur-di?page=all.

Jaga Kelestarian Satwa Dilindungi, Tim Gabungan Gelar Operasi Sapu Jerat di Siak

TRIBUNPEKANBARU.COM – Tim Gabungan dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, PT Arara Abadi (AA), UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Mandau, Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI), Perkumpulan Jejaring Hutan Satwa (PJHS), Rimba Satwa Foundation (RSF) dan Himpunan Penggiat Alam (Hipam) menggelar operasi sapu jerat/racun dan sosialisasi konservasi satwa liar gajah dan harimau di kawasan lindung, daerah perbatasan antara konsesi PT Arara Abadi, Distrik Duri I dengan Kampung Tasik Betung, Kecamatan Sungai Mandau, Kabupaten Siak, Selasa (25/10/2022).

Kepala Balai Besar KSDA Riau melalui Plt Kepala Bidang KSDA Wil II  Hartono menyampaikan apresiasinya atas  kegiatan yang dilakukan bersama para mitra, NGO dan pemegang konsesi untuk kegiatan operasi jerat tersebut.

“Karena itu menunjukkan bahwa para pihak konsen terhadap penyelamatan satwa liar yang dilindungi. Harapan kami kegiatan ini bisa secara kontinu dilakukan dan bisa melibatkan masyarakat sekitar areal konsesi, dengan tujuan untuk mengedukasi, meningkatkan pemahaman dan penyadartahuan kepada masyarakat,” kata Hartono.

Menurutnya, kegiatan sosialisasi harus terus menerus berkesinambungan dilakukan oleh berbagai pihak, terutama para pemegang konsesi tentang larangan pemasangan jerat dengan alasan apapun.

Disertai penyampaian aturan yang jelas jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terhadap satwa liar yang dilindungi.

“Sanksi hukum dapat diberlakukan bagi pemasang jerat tanpa terkecuali, dimana bagi pelaku dapat dikenai sanksi Pasal 40 UU No 5 Tahun 1990 tentang KSDAE dengan hukuman pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 100 juta,” jelas Hartono.

Selain itu, pihaknya berharap dengan kegiatan operasi jerat yang melibatkan semua pihak ini bisa menekan kegiatan-kegiatan perburuan dan menekan angka kematian satwa yang dilindungi akibat jerat.

Usai penyisiran, Ketua Perkumpulan Jejaring Hutan Satwa (PJHS) Syamsuardi menyampaikan, dalam kegiatan ini ditemukan sebuah jerat sling yang biasanya ditargetkan untuk satwa besar seperti kijang, babi, bahkan harimau dan gajah.

Selain itu ditemukan pula beberapa jerat-jerat kecil yang yang juga berpotensi mengakibatkan terjeratnya satwa di daerah tersebut.

 

“Kami juga menemukan racun herbisida di dalam jeriken. Semuanya sudah kami sita,” sebut Syamsuardi.

Namun dikatakan Syamsuardi, yang menjadi target bukan jumlah jerat yang diamankan, namun mengedukasi berbagai pihak akan bahayanya jerat ini.

“Saya berharap ini jerat terakhir yang kita temukan. Bila kita tak menemukan jerat lagi di lokasi lain, saya harap artinya daerah tersebut steril dari jerat yang dapat mengancam satwa,” tuturnya.

Selain itu pihaknya juga menyosialisaikan kepada pemerintah desa dan masyarakat setempat akan bahayanya memasang jerat di hutan.

Head Plantation Unit District I Melibur PT Arara Abadi Deni Alfiyan menyatakan selain melakukan pengamanan lokasi, pihaknya selalu melaporkan dan berkoordinasi dengan pimpinan serta BBKSDA Riau sesaat setelah karyawan melihat satwa dilindungi melintas di daerah kerja mereka.

“Kita juga selalu memberikan sosialisasi dan pemahaman kepada masyarakat yang berada di sekitar area konsesi. Kami juga membantu masyarakat dengan peralatan pengamanan dan perlindungan hewan yang dilindungi berupa trompet gas,” papar Deni.

Di lain tempat, Penghulu Tasik Betung Chairul Anas menyatakan sangat mendukung program sisir jerat yang bertujuan menjaga populasi satwa liar ini.

Ia menilai pemerintah kampung maupun masyarakat, perlu mengetahui bahayanya pemasangan jerat ini agar satwa-satwa dilindungi tak mati sia-sia.

“Dulu memang masyarakat memasang jerat dengan niat mencari rusa dan kijang, namun ditakutkan justru jerat tersebut mengenai satwa dilindungi. Makanya penting bagi masyarakat mengetahui dan tidak memasang jerat lagi,” tutupnya.

Di tempat terpisah Head of Landscape Conservation APP Sinar Mas, Jasmine N.P. Doloksaribu mengatakan, APP Sinar Mas mewajibkan seluruh Perusahaan mitra pemasok bahan baku industrinya untuk menjalankan kewajiban yang diamanatkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan, serta turut berperan aktif menjadi bagian dari program konservasi gajah dan harimau sumatera sebagai bentuk perlindungan serta   memberikan peluang gajah dan harimau sumatera untuk dapat bertahan hidup dan terhindar dari kepunahan.

“Kegiatan kolaborasi program sisir jerat-sisir racun dan sosio-edukasi mitigasi konflik antara manusia dan satwa liar  dilindungi dan terancam punah ini dilakukan secara berkala bersama BBKSDA Riau, KPH, pakar gajah dari FKGI, PJHS, dan lembaga setempat. Kami berharap dengan keiikutsertaan  para pihak yang berkepentingan  dapat semakin memudahkan kita dalam memahami prinsip berbagi ruang hidup antara Manusia-Satwa Liar beserta strategi aksi konservasinya sesuai dengan Permen LHK No.62/Menlhk/Setjen/Kum.1/2019 tentang pembangunan HTI pemegang ijin wajib melindungi kawasan lindung termasuk habitat satwa dan SE.7/PHL/PUPH/HPL.1/10/2022  tentang  Perlindungan satwa Liar yang Dilindungi di Dalam Areal Kerja PBPH, yang sejalan dengan Visi Peta Jalan Keberlanjutan (Sustainable Roadmap Vision) 2030 dan komitmen Kebijakan Konservasi Hutan (Forest Conservation Policy) APP Sinar Mas,” tambah Jasmine.


Sumber dari : Tribun Pekanbaru https://pekanbaru.tribunnews.com/2022/10/28/jaga-kelestarian-satwa-dilindungi-tim-gabungan-gelar-operasi-sapu-jerat-di-siak