BETAHITA.ID – Penegakan hukum terhadap kejahatan satwa liar dilindungi di Indonesia belum terlalu menggembirakan. Padahal kejahatan satwa tidak bisa lagi dianggap sebagai kejahatan biasa. Sebab kejahatan ini merupakan kejahatan terorganisir dan bersifat lintas batas (transnasional), kerugian negara yang dihasilkan bahkan sangat besar.

Direktur Penegakan Hukum Yayasan Auriga Nusantara, Roni Saputra menyebut, berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh UNDP, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan IPB, estimasi kerugian keuangan negara dari peredaran satwa liar dilindungi sepanjang 2015-2021 mencapai angka kurang lebih Rp806.833.236.833.

“Saat ini penegak hukum masih berfokus pada penyitaan terhadap satwa liar dan produk ilegal dari satwa liar. Belum menyasar 2 isu terpenting dari kejahatan terhadap satwa liar, yaitu penelurusan aspek keuangan kejahatan dan melakukan pemulihan atas kejahatan,” kata Roni, Jumat (27/1/2023).

Roni menguraikan, kejahatan terhadap satwa liar dilindungi juga sering berkaitan dengan pencucian uang. Sehingga Sidang Umum PBB telah mengesahkan beberapa resolusi untuk melawan kejahatan terhadap satwa liar dan menyerukan anggota PBB mengubah legislasi nasional, sejauh perlu dan patut, agar tindak pidana terhadap satwa liar dapat diperlakukan sebagai kejahatan asal dalam tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Roni menyontohkan, pada 2017 lalu M. Ali Hanopiah, anggota Polres Indragiri Hilir divonis 2 tahun penjara dan denda Rp25 juta atas kejahatannya menjual sisik trenggiling kepada warga negara Malaysia bernama Lim. Selain itu M. Ali juga dipidana dalam kasus TPPU, dengan dijatuhi vonis penjara 3 tahun dan denda Rp800 juta, serta uang sekitar Rp320 juta miliknya dirampas.

“Untuk menyembunyikan transaksi, M. Ali Honopiah meminta kakak iparnya bernama Zabri untuk membuka rekening BCA. Selama kurun waktu Januari 2017 hingga Oktober 2017 ditemukan transaksi di rekening BCA atas nama Zabri sebesar Rp7 miliar,” terang Roni, Jumat (27/1/2023).

Selain kasus M. Ali Honopiah, Gakkum KLHK pernah melakukan penangkapan pada 28 Mei 2019 berhasil mengungkap pergadangan Trenggiling di Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Nilai tangkapan ini cukup fantastis, lebih kurang Rp1,5 miliar.

Nilai ini tentunya belum termasuk penghitungan nilai ekologis yang hilang atas penangkapan satwa liar yang memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga hutan yaitu sebagai pengendali hama ulat dan serangga di pohon. Namun pada kasus ini tidak ada kabar lebih lanjut apakah pelaku kemudian dijerat dengan Undang-Undang (UU) TPPU.

Penegakan hukum kejahatan terhadap satwa liar tidak dapat dilakukan hanya dengan mengandalkan hukum pidana di satu negara (tempat terjadinya tindak pidana semata). Sebagai contoh dalam kasus M. Ali Honofiah, hingga perkara M. Ali Honofiah divonis, Lim pelaku warga negara Malaysia tidak tersentuh hukum dan masih bebas berkeliaran.

“Untuk itu, perlu menggagas investigasi dan penegakan hukum paralel antarnegara.”

Penegakan Hukum Pidana Kejahatan terhadap Satwa Liar Tidak Menggembirakan

Setidaknya berdasarkan data penegakan hukum yang dirilis oleh Gakkum KLHK terdapat lebih kurang 372 kasus kejahatan terhadap satwa liar dilindungi. Data ini tentunya belum mewakili seluruh kasus yang terjadi di Indonesia, berhubung penyidik yang berperan dalam pemberantasan kejahatan terhadap satwa liar tidak saja Gakkum KLHK, melainkan ada juga penyidik kepolisian.

Namun dari data tersebut dapat dibaca, kejahatan terhadap satwa liar di Indonesia termasuk dalam kategori tinggi, berada pada tingkat kedua setelah kejahatan pembalakan liar.

“Tidak ada yang menggembirakan dalam penanganan kejahatan terhadap satwa liar ini. Besarnya penindakan ternyata tidak menurunkan angka kejahatan. Salah satu penyebabnya adalah tuntutan jaksa dan putusan hakim yang tidak mampu memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan,” kata Roni.

Berdasarkan penelurusan melalui website Mahkamah Agung dengan rentang waktu 2008 hingga 2018, setidaknya terdapat 83 putusan terkait kejahatan terhadap satwa liar dilindungi. Berdasarkan dokumen putusan yang ada, tuntutan jaksa terhadap pelaku berada di antara 2 bulan sampai dengan 36 bulan. Sedangkan tuntutan pidana denda rata-rata Rp10 juta.

Putusan hakim pun setali tiga uang dengan tuntutan kejaksaan, vonis pidana penjara berada di rentang 1 bulan sampai dengan 34 bulan dan putusan denda berada di antara Rp2 juta sampai dengan Rp5 juta. Baik tuntutan maupun putusan ternyata jauh dari apa yang diatur dalam undang-undang. Hampir tidak ada satupun kejahatan terhadap satwa yang dituntut dan diputus maksimal.

“Berdasarkan data tersebut dapat diambil kesimpulan sementara bahwa tuntutan dan putusan pengadilan tidak lebih dari setengah dari ancaman pidana. Dengan kata lain “mindset” penegak hukum masih menempatkan kejahatan terhadap satwa sebagai kejahatan biasa, padahal dari pola kasusnya, tidak jarang kejahatan terhadap satwa melibatkan jaringan atau sindikat internasional.”

Roni berpendapat, dengan pidana yang tidak maksimal, semakin memperkuat keyakinan bahwa efek jera yang diharapkan oleh hukum pidana tidak akan dapat dicapai oleh Negara, dan perlindungan terhadap satwa hanya menjadi ‘perlindungan di atas kertas semata’.

Pendapat yang disampaikan Roni di atas setidaknya dapat juga didukung dengan apa yang terjadi pada kasus terbaru, yang terjadi di Sumatera Utara. Yang mana Thomas Rider, berusia 18 tahun, pelaku penjual orangutan sumatera dituntut 18 bulan oleh jaksa penuntut umum, dan kemudian divonis 1 tahun dan denda hanya Rp10 juta saja.

Padahal menurut Roni, Thomas ini bukanlah pemain baru. Bahkan dalam kasus Eddy (pelaku perdagangan satwa liar), nama Thomas juga disebut-sebut, bahkan Thomas berperan pentin dalam jaringan perdagangan satwa internasional.

Mengembangkan Alternatif Perlindungan terhadap Satwa Liar

Menurut Roni, harapan hukum pidana dapat memberi efek jera, sepertinya sudah mulai menjadi jalan buntu. Apalagi UU Konservasi sudah sangat tua, sejak 1990 hingga saat ini belum ada revisi. UU yang dibuat zaman orde baru tersebut masih menempatkan satwa liar maupun tumbuhan dilindungi sebagai objek semata, yang bisa diambil sepanjang ada perizinan.

“Auriga bersama-sama dengan Lancester University, Peneliti LIPI (sekarang BRIN), melalui pendanaan dari DEFRA mengembangkan alternatif baru, yaitu pendekatan perdata. Pendekatan ini dipilih karena kejahatan terhadap satwa liar merupakan kejahatan yang bermotif ekonomi dan menimbulkan dampak berupa kerusakan yang luas terhadap lingkungan hidup–termasuk spesies yang terancam punah,” terang Roni.

Roni menerangkan, tujuan penggunaan pendekatan perdata ini adalah agar memungkinkan pelaku untuk dimintakan ganti kerugian dan pemulihan terhadap kerusakan yang telah ditimbulkan. Dengan demikian, selain akan menjerat pelaku, upaya pencegahan tindakan yang merusak lingkungan di masa depan dapat dilakukan secara maksimal.

Pendekatan ini didasarkan pada beberapa kasus yang terjadi di banyak negara, terutama perusakan lingkungan yang berakibat terganggu atau punahnya keanekaragaman hayati. Kasus-kasus itu di antaranya:

  1. Kasus Penangkapan Ikan di Taman Nasional Calanque di Prancis
    Pada 2019, pengadilan di Perancis memutuskan beberapa tergugat bertanggung jawab atas kerusakan yang diakibatkan oleh penangkapan, penjualan dan pembelian ikan secara ilegal–termasuk di dalamnya ikan yang dilindungi dan sebagiannya diambil dalam Taman Nasional Calanque. Kasus ini merupakan kasus pertama di Perancis yang berkaitan dengan gugatan kerusakan lingkungan akibat pengambilan ilegal satwa liar dari alam. Putusan pengadilan memutuskan kompensasi terhadap kerusakan ekologis senilai 450 ribu Euro.
  2. Kasus Kebakaran Lahan oleh PT Kalista Alam
    Pada 2012 silam, Menteri LHK mengajukan gugatan terhadap PT Kalista Alam, perusahaan sawit di Aceh, untuk mendapatkan kompensasi akibat kerugian yang disebabkan kebakaran dalam lahan perkebunan perusahaan. Pengadilan memutuskan bahwa PT Kalista Alam bertanggung jawab secara hukum dan memerintahkannya membayar kompensasi senilai Rp114,303,419,000 atai USD12,202,300 untuk kerugian ekologis dan melakukan tindakan pemulihan lingkungan dengan nilai Rp. 251,765,250,000 (US$26,876,845). Salah satu komponen dalam gugatan ganti rugi tersebut termasuk kerugian akibat hilangnya atau berkurangnya keanekaragaman hayati dan sumber daya genetik
  3. Kasus Pertambangan Blackbird di USA
    Pada 1983, Negara Bagian Idaho mengajukan gugatan terhadap beberapa perusahaan tambang atas kerugian lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan Blackbird Mine di Lemhi, Idaho. Blackbird Mine menyebabkan kontaminasi terhadap air tanah dan air permukaan serta merusak hidupan liar keanekaragaman hayati di sepanjang areal Panther Creek. Pengadilan memerintahkan ganti rugi senilai USD4,700,000, termasuk untuk memulihkan kualitas air hingga dapat mendukung populasi ikan, dan melaksanakan rencana restorasi yang secara aktif memulihkan populasi ikan.

Kasus kejahatan terhadap satwa pertama yang digugat secara perdata di Indonesia adalah gugatan orangutan sumatera (Pongo Abeli) Vs PT NAN. PT NAN adalah kebun binatang mini yang terletak di Padang Sidempuan, Sumatera Utara. Sebagai kebun binatang, mereka belum memenuhi persyaratan, namun telah menempatkan beberapa satwa yang dilindungi, salah satunya adalah Pongo Abeli. Walhi Medan sebagai lembaga yang mewakili kepentingan Pongo Abeli kemudian mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Padang Sidempuan dan menuntut PT NAN untuk melakukan pemulihan sebesar Rp712.296.845. saat ini perkara masih dalam proses kasasi di Mahkamah Agung.


Sumber : https://betahita.id/news/detail/8399/potret-penegakan-hukum-kejahatan-satwa-dilindungi-di-indonesia.html?v=1675334649